Tentang Trotoar: Aturan Hanyalah Hiasan Kosong

Posted on

Perdebatan Pemanfaatan Trotoar di Kota Gorontalo

Ahmad, S.H., M.H

(Dosen HTN Universitas Negeri Gorontalo dan Pengurus APHTN-HAN Gorontalo)

“Hukum bukanlah puisi yang boleh diresapi sesuka hati. Ia adalah simfoni norma yang harus dimainkan dalam harmoni hierarki. Maka, barang siapa memilih hanya satu nada, sesungguhnya ia sedang menabuh irama kekacauan.”

Perdebatan tentang pemanfaatan trotoar di Kota Gorontalo dalam beberapa hari terakhir telah menyeret ruang publik ke gelanggang yang aneh: antara ketertiban hukum dan romantisme pragmatisme ekonomi.

Apa yang semestinya menjadi diskursus hukum berjenjang, justru berubah menjadi perdebatan “siapa paling fasih mengutip satu pasal” tanpa menyusuri lanskap norma secara utuh. Dan lebih ironis lagi di tengah orkestra perdebatan itu salah satu suara lantang menyebut Ketua APHTN-HAN Provinsi Gorontalo kurang referensi.

Sebuah pernyataan yang terdengar gagah, tapi sayangnya dibangun di atas pondasi rapuh: mengutip Peraturan Menteri sebagai satu-satunya tafsir kebenaran, sembari menutup mata pada rimba hukum di atasnya.

Komentar Atas Pendapat Apriyanto Nusa dan Andri Gani

Merujuk pada argumentasi yang disampaikan Apriyanto Nusa pada laman berita yang berjudul “Siapa Bilang Walikota Melanggar Hukum, Itu Cara Berpikir yang Dangkal”, terkesan tidak substansial.

Dalam uraiannya bahwa seolah-olah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor; 03/PRT/M/2014 dapat mengenyampingkan kewenangan penyelenggara jalan sebagaimana diatur dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lampiran UU Pemerintahan Daerah mempertegas bahwa Gubernur dan Walikota memiliki kewenangan sebagai penyelenggara jalan sesuai ruas jalan yang ditetapkan Jalan Provinsi atau Jalan Kota.

Rumusan Pasal 28 ayat (1) sebetulnya menghindari agar setiap orang patuh pada aturan main status jalan yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan dalam hal ini adalah Gubernur.

Celakanya kalimat terakhir menyebutkan “Bila keinginan pak walikota ini ditentang sama halnya Pemerintah Provinsi melanggar Peraturan Menteri tersebut dan tidak memahami fungsi sosial yang melekat pada jalur pejalan kaki disisi jalan (trotoar), bahkan tindakan tersebut yang berpotensi melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, yang ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 274 ayat (1).

Narasi kedangkalan yang ia bangun justru menembak pada alur berfikirnya. Sebab, bagaimana mungkin Gubernur yang memiliki kewenangan sebagai penyelenggara jalan Provinsi dapat dikenai Pasal a quo.

Pemanfaatan trotoar memiliki 2 (dua) fungsi yaitu fungsi utama untuk pejalan kaki dan dapat menjadi fungsi sosial. Hal ini menjadi mutlak kewenangan Gubernur sebagai penyelenggara jalan Provinsi sehingga fungsi utama harus dikedepankan, sedangkan fungsi sosialnya hanya menjadi opsi. Olehnya, mendorong setiap orang untuk melanggar Pasal 28 ayat (1) UU LLAJ sama halnya melibatkan diri sebagai subjek yang melanggar Pasal 28 ayat (1) pula.

Pada saat yang sama, Andri Ws Gani berpendapat pada laman berita “APHTN-HAN Provinsi Tidak Paham Fungsi Sosial Jalur Pejalan kaki disisi jalan (Trotoar), lebih cenderung tidak memahami apa yang ia sampaikan sendiri.

Kutipan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor ; 03/PRT/M/2014 yang ia coba sandingkan dengan Pasal 131 ayat (1) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan justru tidak relevan, malah memperkuat bahwa trotoar menjadi hak pejalan kaki sehingga Gubernur sebagai penyelenggara jalan harus menjamin hak-hak pejalan kaki.

Problem serius yang harus dicegah adalah jangan sampai Walikota memiliki otoritas penuh atas pemanfaatan trotoar, sedangkan kewenangan yang sah ada pada Gubernur.

Bertolak dari pendapat diatas, Apri dan Andri seperti tidak utuh membaca Pekerjaan Umum Nomor ; 03/PRT/M/2014 karena mereka abai dan tidak selesai membacanya.

Membaca peraturan tidak hanya sampai pada batang tubuh, melainkan sampai pada lampiran yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan. Padahal dalam Lampiran Pekerjaan Umum Nomor ; 03/PRT/M/2014 tepatnya pada “Tabel 4.1 Ketentuan Pemanfaatan Prasarana Jaringan Pejalan Kaki” tegas menguraikan bahwa meski trotoar bisa digunakan utk aktifitas lain, tapi tidak bisa mengganggu fungsi utama trotoar.

Trotoar Bukan Lahan Tafsir Pribadi Ia Anak dari Rezim Kewenangan

Trotoar bukan sekadar petak kosong yang boleh diisi sesuka hati demi kepentingan sesaat. Trotoar adalah bagian integral dari ruang manfaat jalan, tunduk pada rezim hukum yang diatur dengan ketat dalam:

  • Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan,
  • Pasal 3 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan,
  • serta Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam rezim ini, status jalan menentukan status kewenangan. Jalan nasional dikelola pusat, jalan provinsi oleh provinsi, jalan kota oleh kota. Sesederhana dan sejelas itu. Tidak ada ruang bagi tafsir improvisasi ala “yang penting ekonomi rakyat jalan.”

Karena itu, jika trotoar berada di jalan provinsi maka segala bentuk pemanfaatan ruangnya berada di tangan Gubernur sebagai penyelenggara jalan provinsi. Pemerintah kota, apalagi perorangan atau kelompok masyarakat, tidak bisa serta merta “mengklaim” atau “mengatur” ruang itu.

Maka, ketika ada suara yang menuduh akademisi buta referensi, sementara dirinya menutup mata terhadap rambu kewenangan, sungguh menggelitik. Itu seperti seseorang yang dengan bangga membaca halaman tengah sebuah kitab hukum, lalu merasa telah menjadi ahli tafsir.

Asas Legalitas Bukan Dekorasi Teks, Melainkan Rantai yang Mengikat

Hukum publik tidak mengenal ruang untuk improvisasi perasaan. Ia hidup dari kepastian kewenangan. Asas legalitas yang menjadi jantung dari hukum administrasi negara menegaskan bahwa setiap tindakan pemerintahan harus memiliki dasar kewenangan yang sah.

Dengan demikian, bahkan bila Peraturan Menteri mengizinkan pemanfaatan trotoar untuk fungsi sosial dan ekonomi, hal itu tidak serta merta dapat dilakukan tanpa izin dari penyelenggara jalan. Ini bukan soal pro atau kontra terhadap UMKM, tapi soal tidak merobek jaring kewenangan yang ditenun konstitusi dan undang-undang.

Mengutip Peraturan Menteri untuk membenarkan pelanggaran terhadap undang – undang adalah seperti membacakan catatan kaki seolah itu adalah kitab utama.

Dalam teori hukum, ini bukan saja keliru, tapi juga sebuah bentuk derogasi nalar sebuah kemunduran dalam cara kita menghormati struktur hukum.

Fungsi Trotoar Bukan Sekadar Tapak Ekonomi, tapi Tapak Keselamatan

Ya, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014 memang menyebutkan bahwa ruang pejalan kaki dapat dimanfaatkan untuk fungsi sosial dan ekonomi kecil. Tetapi kutipan itu sering dipelintir seolah trotoar bisa dipenuhi gerobak dan tenda tanpa aturan. Padahal konteksnya jelas: pemanfaatan itu harus dilakukan tanpa mengganggu fungsi utama trotoar sebagai ruang bagi pejalan kaki.

Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menegaskan fungsi utama trotoar adalah untuk pejalan kaki. Bahkan Pasal 274 membuka ancaman pidana bagi siapa pun yang merusak atau mengganggu fungsi jalan, termasuk trotoar.

Menafsirkan trotoar sebagai ruang ekonomi bebas adalah seperti menafsirkan rumah sakit sebagai pasar tradisional hanya karena ada lapak jualan di halamannya.

Trotoar bukan ruang anarki, melainkan ruang tertib hukum.

Ekonomi Rakyat Tidak Boleh Menjadi Alibi Penggembosan Hukum

Tentu, kita semua sepakat bahwa UMKM adalah urat nadi ekonomi lokal. Tapi mengatasnamakan ekonomi rakyat untuk menggerus asas legalitas adalah sebuah kejahatan intelektual yang halus.

Hukum publik bukan arena transaksi kepentingan pragmatis.

Pemerintah Provinsi Gorontalo bahkan tidak anti terhadap UMKM. Justru sebaliknya, visi pembangunan ekonomi daerah mengusung pertumbuhan berbasis ekonomi kerakyatan. Tapi semua itu harus ditata melalui zonasi resmi, izin pemanfaatan ruang, dan kolaborasi antar tingkat pemerintahan. Bukan dengan cara menginvasi trotoar, lalu menganggap siapa pun yang menolak sebagai anti rakyat. Retorika semacam ini bukan retorika hukum. Ini retorika pasar malam.

Memahami Hierarki Norma

Dalam ilmu hukum tata negara, ada satu prinsip agung yang tak boleh diabaikan: lex superior derogat legi inferiori norma yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah.

1. Konstitusi memberi mandat kewenangan.

2. Undang-undang membagi urusan.

3. Peraturan Pemerintah memperinci pelaksanaannya.

4. Barulah Peraturan Menteri menata teknis operasionalnya.

Maka Peraturan Menteri tidak boleh dipahami sebagai “pembenaran” untuk mengabaikan kewenangan Gubernur atau aturan undang-undang yang lebih tinggi. Ia hanya dapat beroperasi dalam kerangka kewenangan yang sah.

Mereka yang memegang pasal 13 ayat (2) Permen itu seperti jimat sakti, tapi melupakan Undang-Undang Jalan dan UU Pemerintahan Daerah, sejatinya sedang mengedepankan peraturan inferior untuk menegasikan norma superior. Dalam logika hukum, itu bukan keberanian berpikir, itu kebodohan metodologis.

Antara Kepastian dan Kemanfaatan Bukan Pilihan, Tapi Titik Temu

Perdebatan ini sering diseret ke dikotomi sempit: “Apakah kita ingin hukum yang kaku atau ekonomi rakyat yang hidup?” Padahal, hukum dan kemanfaatan bukan dua kutub yang saling meniadakan.

Mereka bertemu dalam good governance tata kelola pemerintahan yang baik.

Solusinya bukan mengorbankan hukum demi ekonomi rakyat, melainkan membangun zona-zona legal yang memberi ruang aman bagi UMKM tanpa merusak fungsi trotoar dan kewenangan negara. Inilah yang disebut smart regulation bukan regulasi instan berbasis perasaan.

Siapa yang Sebenarnya Kurang Membaca ?

Maka, ketika tudingan “kurang referensi” dilempar kepada Ketua APHTN-HAN, izinkan saya menjawab bahwa:

“Bukan kami yang kurang membaca, mungkin Anda yang berhenti membaca di tengah jalan. Kami menyusuri konstitusi hingga ke peraturan pemerintah, sementara Anda berhenti pada Peraturan Menteri dan merasa telah menemukan kebenaran tunggal.”

Hukum bukan cermin yang hanya memantulkan apa yang ingin kita lihat. Ia adalah peta yang menuntun pada jalan yang sahih, meski sering tidak nyaman bagi kepentingan sesaat.

Hukum Bukan Ruang Dagang

Trotoar bukan milik segelintir orang. Ia milik publik. Dan hukum yang mengaturnya bukan untuk membatasi rakyat, tetapi untuk menjaga tertib hidup bersama.

Bila hukum dibiarkan ditafsirkan semaunya oleh mereka yang paling lantang, maka yang tersisa bukanlah ruang public melainkan ruang liar.

APHTN-HAN Provinsi Gorontalo berdiri bukan untuk memerangi UMKM, melainkan untuk memastikan kebijakan publik berjalan di rel kewenangan yang sah.

Kami tidak menolak trotoar sebagai ruang ekonomi. Kami hanya menolak jika itu dilakukan tanpa asas legalitas, tanpa prosedur, dan tanpa akal sehat hukum.

“Jangan jadikan hukum sebagai karet, yang lentur mengikuti genggaman kuasa. Jadikan hukum sebagai pagar, yang menjaga agar semua berjalan di jalan yang sama: jalan konstitusi,”. ***