Pemerintah Indonesia kini sedang mempercepat penerapan proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik (Waste to Energy/WTE). Langkah ini sejalan dengan tren bisnis limbah yang semakin berkembang di tingkat global. Inisiatif ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menghadapi tantangan pengelolaan sampah yang semakin meningkat.
Presiden Prabowo Subianto memberikan instruksi agar proyek WTE segera dibangun di 34 titik wilayah dalam dua tahun ke depan. Proyek ini dinilai mampu mengurangi jumlah sampah yang menumpuk di berbagai daerah, termasuk DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali. Dalam pernyataannya, Presiden menyebutkan bahwa proyek ini sangat strategis karena terkait dengan kebersihan, kesehatan, dan peningkatan pariwisata. “Jika Bali tidak bisa membersihkan sampahnya, kita bayangkan bagaimana turis akan datang ke tempat yang kotor,” ujarnya.
Presiden juga menjelaskan bahwa setelah lelang kontrak dan pemilihan teknologi terbaik, proyek ini dapat segera dieksekusi. Menurutnya, kebutuhan untuk mempercepat proyek ini semakin mendesak mengingat jumlah sampah yang menumpuk di beberapa wilayah. Contohnya, di Bantar Gebang, sampah mencapai 55 juta ton dan bisa membahayakan lingkungan jika terjadi hujan deras.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan bahwa proyek WTE telah memasuki tahap verifikasi lapangan di 33 lokasi kabupaten/kota. Proyek ini akan dibangun oleh PT Danantara Energi Nusantara, perusahaan pelaksana yang ditunjuk pemerintah. “Presiden meminta agar pembangunan WTE dilakukan secara bertahap. Saat ini tim gabungan sudah melakukan verifikasi lapangan dan diserahkan ke Danantara,” ujar Hanif.
Percepatan proyek ini didukung oleh Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Waste to Energy sebagai payung hukum baru pengelolaan sampah berbasis energi. Pemerintah juga menetapkan 326 kabupaten/kota sebagai daerah darurat sampah, sehingga daerah tersebut dapat mengakses sumber pendanaan untuk penanganan limbah.
Hanif menegaskan bahwa daerah yang masih melakukan pembakaran terbuka atau pembuangan liar tidak akan masuk dalam sistem penilaian Adipura, penghargaan nasional bagi kota dengan pengelolaan lingkungan terbaik. “Selama masih ada kegiatan pembakaran dan illegal dumping, daerah tersebut tidak mungkin masuk penilaian Adipura. Mereka akan berstatus kota kotor,” ujarnya.
Untuk mempercepat transformasi sistem pengelolaan sampah, KLH menyiapkan tiga skema utama teknologi pengolahan, yakni:
- WTE berupa sistem insinerasi besar: Mengubah sampah menjadi listrik.
- Refuse Derived Fuel (RDF): Teknologi yang mengolah sampah menjadi bahan bakar alternatif bagi industri semen dan pembangkit.
- TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, Recycle): Fasilitas pengolahan berbasis masyarakat di tingkat kelurahan dan desa.
Animo Bisnis Pengelolaan Limbah Meningkat
CEO Danantara Indonesia Rosan Roeslani menyebutkan bahwa kebutuhan pendanaan untuk membangun PSEL di 33 titik mencapai sekitar Rp91 triliun. Di tengah kebutuhan pendanaan yang besar, banyak investor asing menunjukkan minat untuk berinvestasi dalam proyek ini. Rosan mengemukakan bahwa negara-negara besar seperti Jepang, China, Belanda, Jerman, dan Singapura tertarik terlibat dalam pengembangan proyek tersebut.
Danantara mencatat setidaknya 107 badan usaha yang mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam proyek PSEL. Sebanyak 53 di antaranya merupakan badan usaha dalam negeri, sementara 54 lainnya dari luar negeri. Rosan menyebutkan bahwa badan usaha terpilih nantinya akan diperkenankan membentuk konsorsium dalam mengeksekusi proyek tersebut.
Perkembangan ini sejalan dengan laporan terbaru Bloomberg Intelligence yang menyebutkan bahwa makin banyak perusahaan global menetapkan target zero waste dan mengintegrasikannya dalam strategi ekonomi sirkular. Contohnya, Microsoft berhasil mencapai tingkat daur ulang dan penggunaan kembali sebesar 90,9% untuk server dan komponennya pada tahun 2024. Capaian ini melampaui target 90% yang dijadwalkan untuk 2025.
Dana investasi bertema solusi limbah dan ekonomi sirkular juga terus berkembang seiring meningkatnya minat investor terhadap efisiensi sumber daya. Hingga 2025, total aset dana tersebut mencapai US$377 miliar, naik dari US$344 miliar pada 2024 dan US$302 miliar pada 2023. Meski demikian, sebagian besar bank besar dunia masih belum memiliki target jelas untuk pembiayaan terkait pengelolaan limbah. Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan dalam strategi keuangan berkelanjutan.
