Jalan-Jalan di Tunjungan: Aset Kota Surabaya Jadi Kiblat Ekonomi Baru

Posted on



“Rek Ayo Rek, Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan….” sebuah lirik dari lagu ‘Rek Ayo Rek’ karya Is Haryanto, tentu tak asing lagi di telinga warga Kota Pahlawan. Lagu ini bukan sekadar ajakan plesir, tetapi simbol kedekatan warga Surabaya dengan Jalan Tunjungan.

Yogyakarta punya Jalan Malioboro. Bandung punya Jalan Braga. Surabaya? Tentu saja punya Jalan Tunjungan, jantung Kota Pahlawan yang selalu hidup, siang dan malam. Bagi warga Surabaya, Tunjungan bukan sekadar nama jalan, melainkan ruang melepas penat, berbagi tawa dan menenun cerita di antara cahaya lampu dan langkah kaki yang tak pernah berhenti.

Di ruas jalan sepanjang kurang lebih 870 meter dengan lebar 8 meter ini, puluhan gerai berjejer rapi di sisi kanan dan kiri jalan. Mulai dari coffee shop, toko serba ada, kuliner tradisional, hingga gerai fesyen kekinian. Begitu malam tiba, Jalan Tunjungan berubah menjadi panggung kota. Lampu neon menyala terang, musik jalanan mengalun, dan aroma kopi dari kafe-kafe hits berpadu dengan riuh tawa pengunjung yang berjalan santai di trotoar.

Inilah yang disebut warga Surabaya ‘Mlaku-Mlaku nang Tunjungan’. Lanskap gedung-gedung perkantoran dan hotel yang menjulang tinggi juga menjadi daya tarik tersendiri di Jalan Tunjungan. Tak jarang, wisatawan memilih berhenti sejenak untuk mengabadikan momen dengan swafoto. Cara sederhana untuk menikmati pesona malam yang seolah hanya dimiliki Surabaya: hangat, hidup, dan penuh cerita di setiap sudutnya.

Namun, di balik hiruk pikuk Jalan Tunjungan yang kini menjelma sebagai pusat perbelanjaan yang digandrungi kawula muda, tersimpan jejak masa lalu sebagai pusat perdagangan di masa kolonial.

Toendjoengan: Dari Kejayaan Lama ke Era Romansa Baru

Pengamat Sejarah Surabaya, Kuncarsono Prasetya bercerita kepada PasarModern.com, pusat perdagangan di Toendjoengan berkembang karena gedung Siola. Gedung ini dibangun sejak 1877 dan dulunya bernama Whiteaway Laidlaw. “Siola ini dulunya adalah toko serba ada, jadi pionir pusat perbelanjaan pertama di kawasan Jalan Tunjungan. Lalu merembet dan muncul pertokoan lain, seperti Aurora, Toko Nam,” tutur Kuncar, sapaan karibnya, Jumat (17/10).

Memasuki era pasca kolonial, citra Toendjoengan justru semakin berkembang dengan kehadiran komunitas India. Banyak etnis India yang mendirikan bisnis di kawasan ini, utamanya garmen. “Tidak banyak yang tahu bahwa yang meramaikan di situ (perdagangan di Jalan Tunjungan) ternyata dari komunitas India,” imbuh Kuncar yang juga Koordinator Komunitas Begandring Soerabaia.

“Saya membaca referensi, tahun 70-an itu memang puncak kejayaan Jalan Tunjungan sebagai pusat perdagangan industri garmen. Baru kemudian tahun 80-an akhir, berubah menjadi elektronik, tren bisnis, ya” lanjutnya.

Sayang, masa kejayaan itu tak berlangsung lama. pada tahun 1990-an, aktivitas perdagangan di Jalan Tunjungan mulai meredup. Ditambah lagi hantaman badai krisis moneter pada 1998. “Tahun 98 ini sudah banyak (pertokoan di Jalan Tunjungan) milik orang-orang etnis India yang tutup karena krisis moneter. Mungkin hanya sekitar 10 persen yang bertahan, seperti hotel atau perkantoran,” terang Kuncar.

Sejak saat itu, Jalan Tunjungan menjadi sepi bak kota tua yang mati suri. Pertokoan tutup, lampu-lampu redup, hanya deru kendaraan yang sesekali memecah keheningan. Baru pada 2015, denyut kehidupan di tunjungan perlahan bangkit kembali. “Jadi Jalan Tunjungan ini sempat mati suri cukup lama, hingga akhirnya hidup lagi di jamannya Bu Risma (Eks Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini). Beberapa komunitas anak muda inisiatif membuka kafe di sana,” ujarnya.

Mereka saling berkongsi dalam bisnis demi menghidupkan kembali pertokoan di Jalan Tunjungan. Upaya itu berbuah manis. Pada 2021, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi meresmikan Tunjungan Romansa sebagai destinasi wisata.

Menata Ulang Jalan Tunjungan, Hidupkan Aset Kota Pahlawan

Jika berbicara tentang Jalan Tunjungan, selain dikenal sebagai kawasan wisata dan perbelanjaan, satu hal yang kerap terlintas di benak warga Surabaya adalah kemacetan yang nyaris tak terelakkan. Deru mesin kendaraan dan suara klakson bersahutan sudah menjadi pemandangan lumrah. Saat jam sibuk, terutama sore hingga malam hari, Jalan Tunjungan sudah seperti miniatur yang menggambarkan padatnya jalanan metropolitan.

Kondisi inilah yang kemudian menjadi perhatian khusus Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Menurut dia, penataan ulang kawasan wisata Jalan Tunjungan di sektor parkir, penting dilakukan untuk menjaga keindahan kawasan.

Eri mengatakan, selain menjadi biang kerok kemacetan panjang, deretan kendaraan yang terparkir di tepi sisi kanan dan kiri jalan membuat wisatawan sulit menikmati suasana Jalan Tunjungan. “Jangan sampai orang itu ketika lewat Jalan Tunjungan tidak bisa menikmati, karena krodit kanan-kirinya ada parkir mobil atau motor. Lalu, mau lihat keindahan Jalan Tunjungan, malah tertutup parkir kendaraan,” tutur Eri kala itu.

Karena itu, per 1 Agustus 2025, Pemkot Surabaya meniadakan Parkir Tepi Jalan Umum (TJU) di kawasan Wisata Jalan Tunjungan Romansa demi mengurai kemacetan yang kerap terjadi. “Tanpa ada parkir TJU saja, kecepatan kendaraan yang melintas (di Jalan Tunjungan) merayap. Apalagi ada parkir tepi jalan umum, pasti lebih macet. Makanya kami sepakat meniadakan parkir TJU di Tunjungan,” imbuhnya.

Kini, tanpa kendaraan yang parkir di tepi jalan, kawasan Tunjungan tampak lebih lengang. Wisatawan juga bisa berjalan kaki dengan lebih nyaman, menikmati suasana malam perkotaan sambil kulineran.

Ruang Publik yang Hidup, Bukan Sekadar Nama Jalan

Di tengah lalu lalang wisatawan, Rahmalia Amandini Hermawan, mahasiswa asal Jakarta duduk di salah satu kafe di Jalan Tunjungan. Sambil menyeduh segelas kopi, ia tampak fokus dengan laptopnya. “Lagi mengerjakan tugas kuliah ini, kak,” ujar perempuan 21 tahun itu, menimpali sapaan PasarModern.com.

Rahma mengaku cukup sering mengunjungi Jalan Tunjungan, sekadar untuk jalan kaki atau menjajal kopi yang belum ia coba. Apalagi, Jalan Tunjungan lokasinya strategis, tak jauh dari tempat tinggalnya di Kalidami, Gubeng. “Ke sini sesuai mood saja sih, karena di Tunjungan kopinya enak-enak, oke juga untuk tempat melamun hehe. Apalagi sekarang Tunjungan lebih rapi dan nyaman buat jalan kaki,” lanjut gadis berkacamata itu.

Hal senada disampaikan Jessica Laurent. “Di sini banyak gerai makanan. Disediakan trotoar luas juga, jadi nyaman untuk menikmati pemandangan malam di Jalan Tunjungan,” ucap warga asal Kecamatan Genteng, Surabaya. Perempuan berambut panjang dan ikal ini menilai Jalan Tunjungan sebagai tempat hiburan yang murah dan mudah dijangkau. Pasalnya, Jalan Tunjungan selalu buka dan siap menyambut pengunjung setiap saat.

“Aksesnya fleksibel. Wisatawan cuma perlu membayar uang parkir, sekitar Rp 3-5 ribu untuk sepeda motor. Tapi memang kalau weekend ramai banget di sini,” ucap Jessica, yang datang bersama temannya malam itu.

Jalan Tunjungan kini terasa lebih hidup. Bukan hanya sebagai jalan kota biasa, tetapi sebagai ruang publik tempat orang-orang berkumpul dan berbagi cerita. “Karena masih banyak bangunan bersejarah yang ikonik di sini, terus banyak tempat bagus untuk foto-foto. Belakangan ini suka kuliner sih, di sini makanannya banyak pilihan dan rasanya enak-enak,” celetuknya.

Dari Ikon Wisata ke Sumber PAD, Jalan Tunjungan Bukti Aset Publik Bisa Produktif

Kepopuleran Jalan Tunjungan saat ini tak lepas dari andil para pengusaha yang membuka berbagai gerai dan kafe modern. Menghidupkan kembali kawasan legendaris yang sempat mati suri, menjadi tempat wisata ikonik.

Ketua Paguyuban Pengusaha Jalan Tunjungan, Fahat Umar Bahalmar mengatakan, kawasan Tunjungan merupakan master piece dari karya Cak Eri dan Cak Ji (Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Surbaya Armuji). “Cak Eri dan Cak Ji ini ingin membuat kota budaya, sehingga teman-teman investor berbondong-bondong menggelontorkan uangnya di tempat gokil seperti ini,” tutur Fahat di Jalan Tunjungan Surabaya, Jumat (17/10).

Hebatnya, kata Fahat, gerai-gerai yang beroperasi di Jalan Tunjungan memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing. “Di sini brand lokal semua, contoh Ramen Edoya, ini brand lokal, tapi yang masak langsung dari Jepang,” lanjutnya.

Namun, ada satu hal yang mengganjal di hati para pengusaha Jalan Tunjungan. Sebab pasca penerapan kebijakan larangan parkir TJU, rata-rata gerai mengalami penurunan omset hingga nyaris 50 persen. “Kami mendukung kebijakan larangan parkir TJU, karena lebih rapi kan, enak dipandang. Tetapi kantong parkirnya kalau bisa ditambah, karena potensial market itu nggak mau ribet. Banyak yang mengeluh sulit mencari parkir,” ucap Fahat.

Rendy tak menampik adanya penurunan omset bulanan di angka sekitar 30 persen. “Katakanlah dulu kita bisa dapat (omset) Rp 7-8 juta perhari, sekarang hanya sekitar 5 jutaan,” ujar pengusaha 42 tahun itu. Rendy berharap Pemkot dan pengusaha dapat berkolaborasi untuk mencari solusi yang tak merugikan salah satu pihak. “Kita setuju kok, tapi tempat parkirnya dibanyakin lagi, karena pengunjung Tunjungan ini banyak,” serunya.

Sebagai ikon sejarah dan kawasan perbelanjaan di Kota Pahlawan, Jalan Tunjungan terus menunjukkan geliat aktivitas ekonominya. Hal itu terlihat dari realisasi pajak restoran yang mencapai Rp 4 miliar hanya dari kawasan Jalan Tunjungan. “Hingga Oktober 2025, realisasi pajak restoran di kawasan Jalan Tunjungan mencapai Rp 4 miliar,” ujar Kabid Pajak Hotel, Restoran, PPJ, Reklame, Hiburan, dan Air Tanah Bapenda Surabaya, Ekkie Noorisma A.

Meski jika dihitung dari total realisasi PBJT Makanan dan/atau Minuman bulanan Kota Surabaya, kontribusi Jalan Tunjungan hanya berada di kisaran 0,5-0,7 %, kontribusinya terhadap PAD patut diapresiasi. “Kontributor PBJT Makanan dan atau Minuman terbesar di Surabaya, umumnya dari pusat perbelanjaan (mall) besar dan sentra-sentra kuliner yang tersebar di wilayah padat penduduk atau kawasan perkantoran elit,” imbuhnya.

Meskipun kontribusinya kecil secara persentase, Jalan Tunjungan menawarkan potensi strategis yang bernilai jauh lebih tinggi daripada sekadar angka pajak. Yakni menjadi living landmark Kota Surabaya. Jalan Tunjungan saat ini menaungi setidaknya 42 objek PBJT Makanan dan atau Minuman. Berdasarkan data realisasi terkini, rata-rata setoran pajak bulanan dari 42 objek tersebut mencapai Rp 400 Juta.

Keberadaan restoran dan kafe di sana berfungsi sebagai magnet yang menarik wisatawan domestik dan asing, sekaligus menciptakan citra kota yang modern, namun hidup berdampingan dengan sejarah. Nilai branding ini tidak terukur dalam PAD. Kehadiran 42 objek pajak menunjukkan adanya keragaman dan semangat kewirausahaan yang tinggi. Kawasan ini bisa dijadikan showcase bagi konsep-konsep kuliner kreatif.

“Pencapaian akumulasi pajak Rp 4 Miliar hingga Oktober 2025 menunjukkan potensi pendapatan tahunan yang konsisten. Ke depan, Bapenda akan menggunakan sistem cast register untuk meminimalisir potensi lost PAD,” terang Ekkie.

Jalan Tunjungan mungkin bukan ‘Raja Pajak’ untuk sektor PBJT Makanan dan Minuman di Surabaya. Namun perannya sebagai kawasan wisata, perdagangan, hingga ruang publik kawula muda adalah aset tak ternilai bagi Pemkot Surabaya. Dengan wajah barunya, Tunjungan Romansa tak hanya menjaga warisan sejarahnya, tetapi juga menjadi aset publik yang produktif, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *