Yanto Fridus Neno (26 tahun) tinggal di Desa Tunabesi, Kecamatan Io Kufeu, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pagi hari di penghujung Oktober lalu, Yanto membawa saya beserta dua rekan lainnya untuk mengunjungi sumber air berharga di desanya. Warga desa menyebut sumber air itu sebagai mata air Oe Petu.
Perjalanan dari rumah Yanto menuju mata air Oe Petu ditempuh sekitar 20 menit dengan mengendarai sepeda motor. Setengah perjalanan ditempuh di atas aspal. Sisanya, ban motor itu harus beradu dengan tanah kering dan berbatu. Makin dekat dengan Oe Petu, jalanan tanah itu menurun cukup curam. Saya terpaksa turun dari motor dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Meskipun tanah terlihat sangat kering dan tandus, nuansa hijau ala pepohonan terasa di sisi kanan dan kiri jalan.
Masih pukul setengah sepuluh pagi, tetapi terik matahari cukup ganas menembus kulit. Panas mentari mereda ketika saya menembus pepohonan menuju mata air di bawah sana. Daun-daun yang berjatuhan membuat tanah cukup licin. Jika tak biasa, seseorang bisa saja terpeleset saat melewati jalan setapak menuju mata air Oe Petu.
Bak dan pompa air mulai terlihat. Air dari mata air Oe Petu dibantu pompa air bertenaga surya untuk mengalirkan air bersih ke tiga dusun dengan jumlah penduduk sekitar 700 jiwa. Fasilitas tersebut baru beroperasi pada September 2024, kolaborasi antara Pemerintah Desa Tunabesi dengan Yayasan Solar Chapter.
Bak pompa air di Oe Petu (PasarModern.com/Ajeng Dwita Ayuningtyas)
Saat ini jumlah penduduk Desa Tunabesi mencapai 2.505 jiwa dan tersebar di 13 dusun. Kata Yanto, ada beberapa mata air lain di desa ini. Tapi, belum semuanya dimanfaatkan dengan optimal.
“Ada satu yang debitnya besar, tapi ada (mengandung) zat kapur. Itu debitnya musim panas, musim hujan, tidak pernah berkurang,” tutur Yanto.
Mata air bernama Oe Nanue yang dimaksud, telah dimanfaatkan untuk Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) sejak 2018 lalu. Saat ini PAMSIMAS masih berfungsi mengaliri air untuk warga di dua dusun. “Tapi, belum optimal. Karena kadang-kadang masyarakat harus memukul-mukul pipa, supaya keluar kapurnya,” tutur Yanto.
Zat kapur seringkali menyumbat pipa air, sehingga masyarakat perlu memukul-mukul pipa agar zat itu luruh dan air bisa mengalir.
Melansir jurnal ilmiah karya Mogi dkk (2025), air yang mengandung zat kapur atau air sadah bisa menimbulkan risiko terhadap kesehatan. Air sadah adalah air yang mengandung kadar kalsium tinggi dan secara umum mengandung kapur dalam jumlah berlebih.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492 Tahun 2010 mengatur batas maksimal kadar kesadahan dalam air bersih, yaitu 500 mg/liter. Jika masyarakat mengonsumsi air sadah lebih dari batas maksimal, muncul risiko kesehatan seperti gangguan ginjal atau batu ginjal.
Ketika Air Bersih Masih Jadi Mimpi
Pemerintah Desa Tunabesi tengah membangun sistem air baru dengan memanfaatkan mata air lain bernama Oe Upah. Kali ini, pembangunan tersebut hanya menggunakan dana desa. Yayasan Solar Chapter cukup berperan sebagai perencana teknis dan konsultan saja dalam proyek ini.
Yanto bercerita, komitmen tersebut diinisiasi oleh Kepala Desa Tunabesi, Fransiskus Mollo, yang tak lain adalah ayahnya.
“Almarhum (ayah) punya mimpi untuk Tunabesi itu, desa akses air bersih,” ucap Yanto.
Komitmen itu dilatarbelakangi pengalaman Fransiskus yang kesulitan akses air bersih sejak kecil. Oleh karena itu, ketika mulai menjabat pada 2022, Fransiskus memberi perhatian khusus soal air.
Namun, Fransiskus meninggal dunia 6 Agustus lalu, saat gotong royong membangun bak reservoir di mata air Oe Upah. Tanpa ada penyakit yang menyertai sebelumnya, kondisi Fransiskus turun drastis saat pengerjaan. Dugaannya, ia kelelahan.
Sebelum mengembuskan napas terakhir, Fransiskus sempat tersadar ketika ditangani di puskesmas setempat. “Masih cerita, masih makan sama-sama, tidak ada tanda-tanda akan meninggal,” tutur Yanto.
Kondisinya kemudian memburuk hingga mengharuskannya dibawa ke pelayanan kesehatan yang lebih mumpuni di Atambua, meskipun jarak tempuhnya lebih dari satu jam.
Yanto merasa ayahnya sudah tiada sejak kondisinya memburuk di puskesmas. Namun, ia dan keluarga tetap berupaya membawanya ke Atambua, barangkali ada keajaiban di sana. Sayangnya, Fransiskus tidak tertolong.
Selama menjabat, Fransiskus berkomitmen mengalokasikan sekitar 70% dana desa untuk membangun sistem air bersih di Tunabesi. “Supaya tumbuhan, hewan, anak kecil, orang dewasa, semua bisa menikmati air bersih,” tutur Yanto, ketika menirukan ayahnya dengan wajah berbinar.
Panel Surya Solar Chapter yang digunakan untuk menggerakkan pompa air di mata air. (PasarModern.com/Ajeng Dwita Ayuningtyas)
Efisiensi Anggaran yang Sempat Membuat Kecewa
Khusus untuk pembangunan pompa air di Oe Upah, dana yang dibutuhkan sekitar Rp 280 juta. Saat ini proses pembangunan pompa air itu memang masih berjalan, namun mengalami beberapa kendala, salah satunya karena kekurangan anggaran.
Di tengah obrolan, Yanto teringat ketika ayahnya yang “mogok” kerja selama hampir satu minggu. Bukan tanpa alasan, Fransiskus merasa kecewa ketika pemerintah pusat memangkas anggaran, termasuk alokasi untuk daerah.
“Bagaimana kita mau membangun, kalau anggarannya sudah dipotong kiri kanan,” ucap Yanto.
Untuk menyediakan pompa airnya saja, dibutuhkan dana kurang lebih Rp 100 juta. Jumlah itu belum termasuk pembangunan fasilitas lainnya. Pemerintah Desa Tunabesi harus menabung untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, pemerintah memangkas Rp 306,69 triliun atau sekitar 8,5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) tahun anggaran 2025 menjadi Rp 848,5 triliun usai dipangkas Rp 50,6 triliun.
Dana hasil pemangkasan dialihkan ke program yang dinilai dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan, energi, dan perbaikan di sektor pendidikan dan kesehatan.
Akan tetapi, di tingkat tapak, pemangkasan ini sangat berdampak pada rencana pembangunan yang telah disusun sebelumnya. Termasuk, program air bersih yang direncanakan di Desa Tunabesi.
Pembangunan fasilitas air bersih ini tersendat usai meninggalnya Fransiskus. Linimasa pembangunan cukup bergeser karena warga berduka.
Mewujudkan Mimpi Berjalan di Atas Air
Nyatanya, air tidak hanya digunakan untuk membasahi tenggorokan atau membasuh tubuh dari keringat. Sulitnya akses air bersih juga memangkas mimpi anak Tunabesi untuk sekolah.
Sebelumnya Yanto bercerita, warga desa harus berjalan sekitar 3-4 km untuk mencapai sumber mata air Oe Petu. Anak-anak bahkan harus pergi mengambil air ke mata air sebelum berangkat sekolah.
Dulu, pukul empat dini hari Oe Petu sudah diramaikan oleh anak-anak. Tetesan air yang berharga itu ditampung dengan gayung, lalu disimpan di jeriken. Tentu, mereka juga harus berbagi satu sama lain untuk menikmati air bersih ini.
Tak jarang, mereka harus membawa jeriken-jeriken air itu ke rumahnya, sebelum pergi ke sekolah. Air itu nantinya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Perjalanan menuju mata air (PasarModern.com/Ajeng Dwita Ayuningtyas)
“Membawa empat jeriken atau lima jerikan, mendaki, risiko sangat tinggi. Apalagi setelah hujan,” tambahnya. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, medan menuju mata air ini cukup curam.
Itu baru persoalan air, sementara anak-anak juga harus menempuh perjalanan panjang hingga sampai ke sekolahnya. “Jadi kebanyakan anak sekolah terlambat karena itu. Angka putus sekolah di Tunabesi juga sangat tinggi,” kata Yanto.
Jika dilihat dari lingkup kabupaten, Universitas Cendana Kupang mencatat ada 13.383 anak di Kabupaten Malaka, NTT, yang terpaksa putus sekolah. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, rata-rata lama sekolah di wilayah ini hanya 7,38 tahun atau bahkan tidak lulus sekolah menengah pertama.
Picu Tingginya Angka Gizi Buruk di Tanah NTT
Selain masalah pendidikan, air juga sangat erat kaitannya dengan masalah kesehatan. Data tahun 2025, dari 92 anak usia 0-5 tahun di Desa Tunabesi, ada tujuh anak yang mengalami gizi kurang dan satu anak mengalami gizi buruk.
Meskipun sebagian besar tergolong memiliki gizi baik, tak jarang yang mengalami berat badan kurang atau bahkan sangat kurang.
Data BPS NTT menunjukkan, ada 33.825 anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk pada 2024. Sebanyak 1.829 anak di antaranya berasal dari Kabupaten Malaka.
Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF), faktor yang memengaruhi masalah gizi secara langsung adalah kurangnya asupan zat gizi serta interaksi individu dengan penyakit infeksi. Hal tersebut berkaitan dengan minimnya ketersediaan pangan, akses air bersih, sanitasi, dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, serta bagaimana pola asuh kepada anak.
Memiliki dan Menjaga Air
Masalah air yang mengikis mimpi anak Indonesia menunjukkan betapa gentingnya isu ini. Bersamaan dengan itu, Yayasan Solar Chapter menilai keterlibatan anak muda justru jadi poin penting dalam menjaga keberlangsungan air bersih.
Selain membangun fasilitas air bersih bersama pemerintah desa, Solar Chapter memiliki program pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa yang tergabung dalam Komite Air.
“Yang paling penting sebenarnya pemanfaatan air, untuk keberlanjutannya. Kalau hanya dipakai untuk mandi, makan, minum, itu enggak sustainable,” jelas Koordinator Learning Program Solar Chapter, Ni Ketut Alit Astuti.
Agenda peningkatan kapasitas ini salah satunya dilakukan melalui program Solar Champion. Komite Air dari setiap desa intervensi Solar Chapter dipertemukan, untuk menerima materi soal air dan pengolahannya, serta meningkatkan rasa kepemilikan dan komitmen menjaga sumber air.
Akhir Oktober lalu, Solar Champion digelar di Desa Tublopo, Kecamatan Bikomi Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. Komite Air dari empat desa, yaitu Desa Tublopo, Desa Oenenu Selatan, Desa Fafinesu, dan Desa Nansean bertemu.
Seseorang dengan postur tubuh mungil mencuri perhatian. Ia cukup percaya diri meskipun tak banyak peserta lain yang seumuran dengannya. Anak laki-laki itu baru kelas satu SMA rupanya. Namanya Ikar.
Tak ada siapapun yang mendorong Ikar untuk jadi Komite Air. Semuanya muncul karena keinginannya sendiri.
“Karena itu, waktu Kakak-kakak datang ke kampung saya untuk pasang air, saya senang,” ceritanya.
Ikar, seorang pelajar, menanam pohon di dekat mata air (PasarModern.com/Ajeng Dwita Ayuningtyas)
Ikar tinggal di Desa Fafinesu, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. Biasanya, Ikar harus mengambil air bersih dari kran komunal di desanya untuk kebutuhan sehari-hari. Bisa sepuluh sampai 12 jeriken kecil ia bawa dengan sepeda motor.
Sekretaris Desa Fafinesu, Rian Atrianus menjelaskan, kran komunal itu merupakan program air bersih dari pemerintah. Namun, distribusinya belum langsung ke rumah-rumah warga. Program ini kemudian dikembangkan bersama Solar Chapter, agar bisa didistribusikan langsung ke rumah warga.
Kran komunal baru mengairi dua dari tiga dusun di Fafinesu. Satu dusun lainnya mengambil air dari sumber mata air lain secara langsung. Kondisi ini dipengaruhi jarak dusun yang terlalu jauh.
Rencana pengembangan tahun ini, jaringan air akan memasuki 190 rumah di Desa Fafinesu. Kata Rian, saat ini baru sekitar 30 kepala keluarga atau sekitar 30 rumah yang teraliri langsung.
Keterlibatan anak muda seperti Ikar, jadi salah satu kunci pengembangan ini. “Sudah ada jiwa memiliki di desa sejak dini, ke depan mereka akan jadi penerus,” tutur Rian.





