,
Jakarta
– Iklim tidak mendukung pada saat itu
Tempo
menyaksikan langsung pengambilan pagar laut di desa Kampung Alar Jiban, Kecamatan Kohod Pakuhaji, kabupaten Tangerang pada hari Selasa, 22 April 2025. Angin berhembus dengan cukup kuat dan ombak memompom gerakan perahu tersebut.
Tempo
tumpangi bersama dua warga Alar Jiban dan seorang nelayan setempat.
Kapal perlahan meninggalkan dermaga keramba menuju tengah lautan dengan jarak kira-kira 200 meter. Begitu kapal semakin dekat, pandangan tertuju pada aktivitas sebuah ekskavator berwarna merah muda yang sedang mengambil banyak bambu tersusun rapi di dalam air laut.
Perahu yang ditumpangi
Tempo
terdampar di antara rerimbunan pagar bambu. Marto, si pemilik kapal, langsung bertindak cepat. “Kapalku terdampar, propelernya tak dapat berputar lantaran menabrak tumpukan pasir dasar laut,” jelas Marto.
Penduduk Alar Jiban, Aman Rizal (56 tahun), langsung menggunakan batang bambu yang panjang untuk mendorong perahunya agarmundur dan berbelok arah. “Di belakang pagar bambu ini terdapat pengumpulan air laut dengan pasir yang dihisap, ini adalah tugas Arsin,” jelas Aman. Menurutnya lokasi hisapan pasir tersebut memang merupakan area tunggal bersama dengan posisi pembatasan pagar bambu.
Lokasi pembatas pantai yang terletak di Desa Kohod mencapai kira-kira 4 kilometer mulai dari Kampung Kepulauan Tanjungs Burung, Pakuhaji, hingga ke perbatasannya dengan Teluk Naga. Pembatas pantai pada posisi Kampung Kepulauan Tanjung Burung telah dilepas. Dilanjutkan setelah Kampung Kepulauan Tanjung Burung adalah Kampung Alar Kapling serta Kampung Alar Indah. Dua lokasi tersebut,
Tempo
menemukan bahwa perbatasan antara lautan dan daratan telah bercampur, tidak ada lagi pemandangan pantai sebab area tersebut kini diisi dengan lumpur dan ditutupi oleh pasir berwarna hitam.
Penduduk setempat mengatakan bahwa pasir hitam tersebut adalah hasil penambangan dari laut menggunakan peralatan pada masa kepemimpinan Kohod Arsin bin Asip sebagai Kepala Desa. Saat ini, Arsin telah diberhentikan dari jabatannya dan dia sempat diringkus oleh Bareskrim selama 60 hari karena diduga melakukan pemalsuan dalam dokumen proses pemberian Surat Hak Guna Bangunan dan Surat Hak Milik (SHGB/SHM) untuk lahan laut.
Kedua desa tersebut saat ini telah kosong, hanya terdapat semak-semak dan sisa-sisa pemakaman. Aliran sungai yang membelahi kedua desa itu sekarang tertutup dan digantikan oleh jalanan.
Dari empat desa tersebut, satu-satunya yang masih dihuni adalah Kampung Alar Jiban yang awalnya memiliki sekitar 120 kepala keluarga dan kini tinggal menyisakan 55 KK. Warganya saat ini sedang melakukan tuntutan hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
citizen lawsuit.
Tergugat dalam hal ini adalah Kepala Desa Kohod sampai kePresiden RI. Sementara itu, Agung Sedayu Grup dijadikan sebagai pihak tambahan atau turut tergugat. Para wargamemprotesAgung Sedayu Group karena area bekas tanah mereka direncanakan untuk pembangunan Kota Bagan yang digadalkansebagai destinasi seribu pesonadan dikenal dengan namaKampoeng Bagan.
Tempo
Mereka berhasil mengidentifikasi posisi penghapusan pagar laut manual oleh regu bersama yang sudah beroperasi di area tersebut mulai tanggal 16 April 2025 sampai dengan Minggu, 27 April 2025. Agar dapat melepas pagar tersebut, para individu -totalnya mencapai lima puluh orang- dibagi menjadi beberapa gugus dari bermacam-macam lembaga yang dipimpin oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Banten.
Mereka menceburkan diri di perairan sempit berlumpur dan bersandarkan pasir guna menarik batang-batan bambu tersebut. “Iya, kita melakukannya secara manual dengan mengaitkan tali untuk menarik batang bambu yang telah dilepaskan dari excavator,” ungkap pekerja yang enggan menyebut identitasnya.
Petugas yang bertanggung jawab untuk membongkar pagar laut tersebut memasuki area lewat jalur lama yang dulu disebut Kampung Alar Indah dan Alar Kapling.
Tempo
Sempat dicegah oleh para petugas keamanan yang bertugas di area perkembangan Kota Bagan. Tetapi, mereka tidak dapat berbuat banyak ketika menghadapi penduduk Alar Jiban yang sangat mengetahui daerah asal mereka.
Saat senja tiba, terlihat para pekerja penghapusan bangunan sudah mulai merapikan diri. Beberapa nelayan yang telah menolong dalam menghancurkan pagar laut pun siap kembali ke rumah. Sebagian di antara mereka memuat bambu bekas pagar laut sebagai bahan bawaan menuju pulang.
Sebagian besar batang-batang bambu dikumpulkan di tepi pantai menjadi tumpukan sampah yang masih menunggu pengambilan. Tidak mengherankan jika perairan dangkal dipenuhi oleh campuran pasir, lumpur, serta sampah yang dibawa sungai Cisadane. Penduduk setempat merujuk pada fenomena ini sebagai penambangan tanah.
Oman dan Aman, dua orang warga lokal, menyebutkan bahwa Arsin sempat memberi petunjuk untuk pengeboran pasir pada area tersebut. “Itulah jejak tempat mesin pengisap pasir bersandar. Warna birunya adalah sisa dari pipa utama yang tebal,” jelas Aman.
Oman mengatakan bahwa area tersebut akan direklamasi setelah ditanami pasir buatan. Dia menyebutkan, “Proyek ini milik Arsin, saya yakin karena menjadi bagian dari BPD.” Menurutnya, langkah ini mencerminkan penjualan lautan oleh Arsin dan penggunaan wewenang sebagai kepala desa secara tidak tepat. Oman juga mengungkapkan bahwa mereka telah melayangkan laporan kepada Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sejak Oktober 2024.
Lautan Kohod saat ini sudah tidak sebersih dulu. Dampak dari kerusakan lingkungan terlihat jelas pada area perairan di pantura kabupaten Tangerang tersebut. Di samping gunungan sampah, ada juga tumpukan bambu yang semakin kering serta berjamur di laut yang cukup dangkal.
Di petang hari tersebut, dua remaja tampak asyik mencelupkan kakinya yang kecil ke dalam tanah liat yang melapisi area pantai. Tidak jauh dari lokasi kedua pemuda itu bermain, ada beberapa kapal dibiarkan tertanam di pasir lumpur. Kapal-kapel ini rusak dengan bagian dasarnya pecah akibat benturan tiang penahan gelombang laut yang tidak lagi kuat setelah pembongkaran pagar pantai yang kurang tepat.
“Iya, akibatnya kapal bocor, nelayan tidak dapat berlayar lagi karena kurang uang untuk memperbaikinya. Jala pun rusak tertabrak batang kayu,” keluhan Marto. Sebanyak sepuluh kapal saat ini dibiarkan tergeletak diatas laut yang airnya surut.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten Eli Susiyati menyebut bahwa pemusnahan pagar laut horizontal dengan panjang 30,16 telah rampung dilakukan. Sekarang, regennya sedang fokus pada penghapusan pagar laut vertikal yang terbentuk menjadi lahan terpisah di Desa Kohod. “Oleh karena tingkat kepadatannya serta ukuran bambu yang cukup besar, kami perlu menggunakan mesin untuk melakukannya,” ujar Eli.
Eli mengakui situasi di tempat kejadian bahwa lautan yang sudah dibagi menjadi bagian-bagian dengan pagar bambu tersebut memiliki tumpukan pasir dan lumpur. Tetapi ketika
Tempo
Eli memastikan bahwa hal tersebut bukan bagian dari proyek reklamasi laut, menambahkan bahwa pihaknya hingga saat ini belum mengeluarkan izin untuk reklamasi apa pun.
Terkait dengan tumpukan bambu bekas pengambilan dari pantai yang sekarang menyeret, katanya lagi akan dibuatkan dokumen resmi untuk dihancurkan. “Apabila warga ingin menggunakan silakan saja, sisanya setelah itu akan kitabakar,” jelas Eli.
Pekerja pengangkatan pagar laut diprediksi masih akan bertahan selama dua hari lagi. Akan tetapi, mereka tidak berencana untuk menyingkirkan akar rumput laut atau batang bambu lainnya yang menjadi gangguan bagi para nelayan.
Akan ditinggal lapuk saja. Sebab jika diambil secara manual oleh tangan manusia mustahil dilakukan akibar terlalu erat tertanemnya. Sedangkan menggunakan peralatan malahan akan membuat kondisinya semakin buruk sebab retakan pada batang bambu menjadi lebih runcing dan tak bisa terlihat dari atas permukaan lautan,” kata Eli. Dia menyebut telah melakukan pembicaraan dengan para nelayan agar tidak menyingkirkan tiang-tiang tersebut.