Survei IYCTC: 95% Warga Jakarta Dukung Ruang Publik Bebas Rokok

Posted on

Tantangan Kualitas Udara di Jakarta dan Upaya Mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok

Jakarta, kota yang terus berupaya menjadi kota global, masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga kualitas udara. Polusi udara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk asap rokok di ruang publik, tetap menjadi isu utama yang memengaruhi kesehatan masyarakat.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (BPS) bulan Maret 2024, sebanyak 22,56 persen warga Jakarta berusia di atas 15 tahun adalah perokok aktif. Pengeluaran untuk rokok menjadi komoditas terbesar kedua setelah makanan, dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan mencapai Rp79.226. Ironisnya, meskipun 86 persen daerah lain di Indonesia telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Jakarta masih bergantung pada Peraturan Gubernur (Pergub) dan belum memiliki payung hukum tingkat daerah.

PP No. 28 Tahun 2024 secara tegas mewajibkan pemerintah daerah menetapkan Perda KTR untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok di ruang publik dan tempat kerja. Seruan percepatan pengesahan Perda KTR semakin kuat seiring hasil survei terbaru dari Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) yang menunjukkan tingginya dukungan publik terhadap kebijakan perlindungan udara bersih dan pencegahan paparan asap rokok, terutama bagi anak dan remaja.

Diseminasi Survei dan Dukungan Publik

Untuk memperkuat bukti ilmiah dan aspirasi publik, IYCTC menyelenggarakan kegiatan “Diseminasi Survei Persepsi Publik dan Kualitas Udara Warga Jakarta terkait KTR di Jakarta” pada Jumat, 17 Oktober 2025. Kegiatan ini menghadirkan beragam pemangku kebijakan, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, DPRD, akademisi, pelaku UMKM, dan komunitas orang muda.

Ketua Umum IYCTC, Manik Marganamahendra, menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi langkah strategis dalam menguatkan bukti ilmiah dan aspirasi publik agar Perda KTR segera disahkan sebagai wujud perlindungan hak warga atas udara bersih dan lingkungan sehat.

“Saat ini Jakarta masih bergantung pada Peraturan Gubernur dan belum memiliki Perda KTR yang menjadi mandat dari PP No. 28 Tahun 2024,” katanya.

Hasil Survei dan Data Kualitas Udara

Paparan hasil survei menunjukkan bahwa dukungan publik terhadap kebijakan publik KTR sangat kuat. Sebanyak 94,4 persen responden merasa terganggu dengan asap rokok di ruang publik, dan 95,3 persen mendukung penerapan KTR di sekolah, fasilitas kesehatan, tempat ibadah, taman, kantor, transportasi umum, dan tempat umum lainnya.

Kesadaran masyarakat untuk melindungi kelompok rentan juga cukup tinggi. Sebanyak 88,6 persen responden mendukung pelarangan iklan rokok di dekat anak-anak, dan 85,8 persen setuju pembatasan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah.

Daniel Beltsazar, perwakilan tim riset IYCTC, memaparkan hasil survei yang dilakukan IYCTC bersama NAFAS dan DBS Foundation untuk pengukuran kualitas udara (Air Quality Monitoring) di beberapa titik, seperti kantor, restoran, rumah sakit, dan sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa asap rokok mengandung partikel PM2.5 yang setara dengan polusi udara dari kendaraan bermotor dan industri.

Kadar PM2.5 yang terdeteksi berada pada kategori tidak sehat, dengan nilai tertinggi di restoran mencapai 61,16 µg/m³. Di restoran, kadar PM2.5 mencapai 61,16 µg/m³, rumah sakit mencapai 43,14 µg/m³, di sekolah mencapai 39,21 µg/m³, dan kantor 40,13 µg/m³.

Dukungan dari Berbagai Pihak

Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR DKI Jakarta, Farah Savira, menegaskan bahwa pengesahan Raperda KTR menjadi langkah penting untuk melindungi warga, khususnya anak dan remaja, dari paparan dan adiksi produk tembakau, baik konvensional maupun elektronik. Ia juga menyampaikan bahwa masukan dari pelaku UMKM dan asosiasi PKL yang khawatir terhadap dampak ekonomi telah menjadi bagian dari pembahasan kebijakan ini.

Dari sisi kesehatan, dr. Ovi Norfiana, MKM, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, menyoroti tingginya beban penyakit akibat faktor risiko perilaku tidak sehat, termasuk merokok.

Dari sisi ekonomi, Risky Kusuma Hartono, Peneliti Senior PKJS-UI, menilai bahwa implementasi KTR perlu ditopang oleh pendanaan yang berkelanjutan agar tidak mandek. Ia menyoroti potensi besar Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan Pajak Rokok Daerah yang selama ini belum dimanfaatkan optimal untuk kegiatan sosialisasi, pengawasan, dan layanan berhenti merokok.

Dari perwakilan masyarakat sipil, Intan Permatasari, Pengurus Kampung Bebas Asap Rokok Cipedak, menuturkan praktik baik yang dilakukan warganya dalam penerapan KTR di tingkat komunitas. Menutup kegiatan, Sadam Permana, kreator muda sekaligus perwakilan Orang Muda Peduli Kawasan Tanpa Rokok, ikut menegaskan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam memastikan keberlanjutan kebijakan publik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *