Ruang Hijau Edukatif yang Menyentuh Hati Anak-Anak Desa
Di tengah keindahan alam yang hijau dan segar, ratusan anak bersama orang tua mereka berkumpul di sebuah halaman kebun yang luas, berada di pinggiran sawah Dusun Betakan, Desa Sumbersari, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta. Pada hari Ahad, 20 Juli 2025, suasana terasa riuh dan penuh antusiasme. Anak-anak tampil dengan berbagai atraksi seperti tari, pantomim, hingga permainan tradisional. Di sudut lain, mereka juga sibuk membuat batik dari bahan tepung, merakit wayang, atau menikmati bunyi gasing bambu.
Tidak ada satupun anak yang terlihat sibuk memegang gawai. Tidak ada juga wahana permainan khusus seperti jungkat-jungkit atau perosotan seperti di taman rekreasi biasanya. Semua anak tampak bahagia dan saling berinteraksi satu sama lain. Mayoritas warga desa setempat, yang tinggal di lingkungan yang cukup tersembunyi dari keramaian kota Yogyakarta.
Komunitas Literasi yang Berawal dari Ide Sederhana
Ruang terbuka yang penuh keceriaan ini ternyata dikelola oleh komunitas literasi yang bernama Literasi Desa Tumbuh. Komunitas nirlaba ini bergerak di bidang literasi dan bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat desa terhadap buku bacaan berkualitas.
Desy Ery Dani, pendiri sekaligus pengelola Literasi Desa Tumbuh, mengungkapkan bahwa awalnya ia hanya ingin membuat perpustakaan kecil di samping garasi rumah keluarganya agar anak-anak bisa membaca seperti anak-anak di kota. Bersama Noor Huda Ismail, pembuat film dokumenter, mereka menciptakan ruang tersebut pada 2024 silam sebagai bentuk oase literasi di pedesaan.
Dalam situasi yang semakin dinamis akibat digitalisasi dan urbanisasi, banyak ruang literasi yang luput dari perhatian. Namun, kepedulian terhadap rendahnya akses literasi anak-anak desa mendorong mereka untuk melanjutkan usaha ini. Awalnya hanya perpustakaan kecil, namun seiring waktu, ruang itu berkembang menjadi gerakan yang lebih luas.
Pendekatan Green Place Making yang Inovatif
Literasi Desa Tumbuh tidak hanya berupa perpustakaan, tetapi juga menjadi ruang hijau edukatif berbasis komunitas. Filosofi “green place making” menjadikan literasi tidak hanya sebatas membaca dan menulis, tetapi juga proses hidup bersama secara sadar terhadap lingkungan, budaya, dan manusia lain.
Komunitas ini memiliki beberapa ruang tematik seperti Ruang Baca, Ruang Seni, dan Ngobrol Bareng. Kesemua ruang ini saling terhubung baik secara fisik maupun konseptual. Dengan pendekatan ini, literasi hadir dalam berbagai bentuk dan media, mulai dari lembaran buku hingga alunan angklung dan aroma kue tradisional dari pawon desa.
Selama satu tahun pertama, ruang ini rutin menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti sesi Ruang Baca bersama anak-anak, pementasan angklung anak dan ibu, pementasan tari tradisional, serta sesi diskusi terbuka dengan tema seputar keluarga, kesehatan mental, dan profesi masa depan.
Pemberdayaan Perempuan dan Pengembangan Ekonomi Lokal
Salah satu fokus utama Literasi Desa Tumbuh adalah pemberdayaan perempuan. Komunitas ini melihat peran perempuan tidak hanya sebagai pendamping, tetapi juga sebagai agen perubahan yang strategis. Para ibu-ibu menjadi penjaga pangan sekaligus pilar ekonomi keluarga.
Untuk mendukung hal ini, komunitas membuka jalur relawan dari kalangan mahasiswa dari berbagai daerah seperti Yogyakarta, Bandung, dan Semarang. Mereka turut mendampingi anak-anak dan para ibu di desa untuk belajar interaksi sosial positif dan mengembangkan minat mereka.
Misalnya, workshop jajanan pasar berbasis tepung beras di sekitar dusun bertujuan untuk menggali potensi lokal kuliner berbasis tepung tradisional. Workshop ini juga memberikan keterampilan baru yang bisa dikembangkan menjadi produk ekonomi kreatif.
Literasi yang Lebih Luas dan Aplikatif
Gerakan literasi yang dilakukan oleh Literasi Desa Tumbuh tidak hanya sekadar membaca buku, tetapi juga memahami bidang-bidang lebih luas dan aplikatif. Misalnya, anak-anak diajak melihat seni bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat pembangun karakter dan jembatan antar generasi.
Ruang Seni menjadi tempat bagi ibu-ibu dan anak-anak untuk berkesenian, mulai dari latihan angklung mingguan hingga pertunjukan tari tradisional. Program tari ini diampu oleh relawan penari profesional lulusan ISI Surakarta. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan ekspresi budaya, tetapi juga membangun rasa percaya diri, keberanian tampil, dan kerja sama antargenerasi.
Sementara itu, di Ruang Baca, anak-anak diajak untuk lebih dari sekadar membaca. Mereka diajak mengenal berbagai profesi, mendengarkan kisah para relawan seperti pemadam kebakaran, bidan desa, guru, musisi, hingga penyandang disabilitas. Tujuannya adalah menjadikan literasi sebagai alat untuk membangun kesadaran sosial, memperkenalkan nilai inklusi, serta memanusiakan manusia dalam arti yang paling dasar.
Melalui kegiatan ini, anak-anak dapat memanfaatkan momen libur mereka untuk belajar tentang interaksi sosial yang lebih bermakna dengan sesamanya dan orang tua.





