Sebagai contoh, Anda memiliki gagasan bahwa di tiap stasiun Kereta Commuter Line di Jakarta dibangun apartemen berkelas standar.
Bisakah gagasanmu tersebut diterima dan menjadi nyata?
Coba saja. Toh alasan untuk mengemukakan ide itu lebih kuat dari riwayat lahirnya kereta masuk apartemen di Chongqing.
Ide itu harus Anda niatkan untuk sesuatu yang mulia: agar jumlah golongan kelas menengah kita terus bertambah. Agar negara cepat maju.
Sudah jelas: Banyak penduduk bertahan hidup dengan penghasilan tetap di Jakarta yang merogoh kocek mereka cukup dalam hanya untuk urusan tranportasi setiap bulannya.
Sesungguhnya mereka sudah berhemat dengan menggunakan kereta api komuter. Namun, tempat tinggal mereka jauh dari stasiun—maka pilihan hanya membeli rumah yang harganya relatif lebih murah.
Harga karcis KRL-nya dulu adalah Rp 1.500 yang cukup terjangkau. Saya tidak tahu tentang harga saat ini. Namun, biaya transportasi dari rumah hingga mencapai stasiun rel kereta api tersebut jauh lebih tinggi daripada itu. Menggunakan layanan ojek mungkin akan menghabiskan uang Anda antaraRp 8.000 hingga Rp 15.000 untuk satu arah saja dan tarif pulang juga sama besarnya.
Properti di area stasiun telah menjadi sangat pricey dan tak dapat dikatakan murah. Sehingga, pihak berwenang mungkin harus menggandeng KAI untuk menciptakan apartemen vertikal pada tanah yang dimiliki oleh Stasiun Kereta Listrik Komuter ini. Dana operasionalnya pun perlu diajukan melalui Danantara agar lebih mudah dipenuhi.
Atau ide tersebut Anda sampaikan kepada menteri perumahan. Meskipun Anda sadar bahwa Ara (Maruarar Sirait, Red), si menteri, sedang bingung menanganai para developer. Banyak program untuk membangun tiga juta hunian yang dia usulkan dihadapkan dengan berbagai kritik dari kalangan pengembang.
Namun demikian, tujuan dari ide Anda tersebut perlu murni bermaksud: untuk memajukan negeri ini. Mencurahkan setengah pendapatan hanya untuk biaya transportasi bisa dianggap tak rasional. Apalagi jika yang dimaksud adalah transportasi menuju lokasi pekerjaan.
Jika tempat tinggal mereka berada dekat dengan stasiun, maka biaya kehidupan mereka akan menurun secara signifikan. Pengeluaran untuktransportasi dapat berkurang hingga 70 persen. Ini bisa membantu dalam meningkatkan taraf hidup mereka.
Ketika saya menyaksikan kereta memasuki gedung apartemen di Chongqing kemarin sabtu, saya merenungi betapa nyamannya tinggal di sana. Stasiun kereta berada di lantai keenam dari bangunan tersebut. Sementara itu, area pada lantai-lantai di bawah stasiun difungsikan sebagai ruang komersial. Pada lantai terbawah, yang mengarah ke jalan raya, disiapkan untuk tempat usaha seperti toko dan rumah makan.
Monorail melintasi bangunan Apartemen di Chongqing, China. – Foto: Retna Christa-Harian Disway-
Toko dan restoran tersebut sedang mengalami masa panen yang luar biasa. Ratusan ribu pengunjung dari TikTok terus datang setiap harinya, siang maupun malam. Mereka menjadi pelanggan utama di tempat ini.
Di sana tidak terdapat area parkir publik. Wisatawan perlu turun dari bis dan berjalan menyilang jalan—mencoba mencari titik yang pas untuk mengamati kereta memasuki gedung apartemen.
Setelah memuat para wisatawan dalam bis, kendaraan tersebut harus melanjutkan perjalanannya. Kemudian, jika ingin meninggalkan lokasi ini nantinya, wisatawan diminta untuk mengumpulkan diri terlebih dahulu di trotoar yang luas di depan bangunan toko-restoran.
Setelah seluruh rombongannya terkumpul, barulah bus bisa di panggil. Mereka harus bersabar menunggu bus kurang lebih 15 menit. Waktu itu dimanfaatkan untuk mencari camilan, minuman serta membeli buah tangan. Rezeki dari TikTok.
Jika ide Anda tersebut mengalami penolakan kemungkinan besar disebabkan oleh faktor ini: kebisingan dari kereta listrik regional (KRL) di Jakarta. Di Chongqing, sistem transportasi tersebut tidak menciptakan tingkat kebisingan yang sama. Bukan KRL, melainkan monorel. Ban-nya terbuat dari karet, bukannya logam. Dan rel-nya dibuat dari beton, bukan baja.
Untuk kondisi di Jakarta telah menggunakan kereta listrik komuter. Bisa jadi para profesional teknik dapat menyelesaikan masalah ini. Paling tidak mereka bisa meminimalkan dampaknya.
Jelaslah bahwa situasi di Chongqing telah membatalkan sebuah alasan penolakan utama: masalah keselamatan. Sebenarnya, tentang bagaimana membuatnya tetap aman, para insinyur sipil tentu mengetahui caranya.
Kehadiran atraksi wisata di Chongqing yang mengkhawatirkan tentang keselamatan kemungkinan besar akan lenyap. Ini bukan berarti tak ada argumen lain terhadap gagasan tersebut. Ada begitu banyak alasan yang dapat dirumuskan. Bahkan jika harus dibuat-buat. Intinya hanya satu: apakah bersedia menerimanya atau tidak.
Badan saya sebenarnya berada di Chongqing kemarin sabtu. Namun pikiran saya ada di Jakarta. Khususnya tentang bagaimana caranya meningkatkan jumlah kelompok kelas menengah di negeri kita ini. (Dahlan Iskan)